HAL tersebut di atas menjadi penting manakala kita tahu bahwa stereotype/pelebelan yang kita bentuk terhadap seseorang adalah berupa kumpulan kesan, anggapan dan penilaian subyektif semata, yang umumnya adalah hasil dari generalisasi kita sendiri. Harus kita sadari pula bahwa stereotype dari hasil pelebelan ini sulit berubah. Ibarat lebel atau merek dagang, sekali dicap sulit dirubah meskipun kita juga mengakui bahwa stereotype itu umumnya tidak alas an yang rasional, namun pengaruhnya cukup kuat terhadap tatanan nilai dan pola perilaku.
Heri Irawan, Ngabang
SEBAGAI salah satu contoh dari pelebelan itu: Umumnya seorang laki-laki percaya bahwa dirinya lebih kuat dari perempuan. Oleh karena itu sesuatu yang janggal dan memerlukan pertimbangan yang matang jika ia dihadapkan pada kenyataan bahwa harus memilih pasangan hidup yang serba lebih daripadanya, seperti perempuan yang lebih pintar – lebih tua – lebih kuasa – lebih kaya dan lain-lain yang arahnya pada status social yang lebih tinggi daripadanya. Sebaliknya dengan kaum perempuan pada beberapa decade lalu (bahkan mungkin sampai sekarang), sering kita jumpai mereka menolak jika ditawari jadi pemimpin organisasi umum yang bukan organisasi perempuan. Baginya, istri adalah pendamping suami, hingga tidak heran jika timbul organisasi semacam Dharma Wanita dan lain-lain yang intinya untuk mendorong (atau mengontrol?) para suaminya.
Kenyataan dan kondisi seperti tersebut di atas merupakan suatu internalisasi stereotype dari tata nilai dan pola perilaku yang lalu menjadi citra diri. Selanjutnya citra diri itu akan sangat berpengarus terhadap pola sikap dan tata perilaku seseorang. Demikian pula dengan fasilitator yang dalam tugas kesehariannya harus turun ke desa, mungkin pada awalnya punya hambatan karena stereotype tadi. Bagi yang perempuan, ia akan lebih percaya diri jika dapat tampil cantik – rapi dan lain-lain, dan karenanya tak heran jika ia punya hasrat bersolek. Sebaliknya laki-laki, ia harus tampil gagah – baju dan sepatunya rapi. Jika hal itu diterapkan dengan kaku, tugasnya sebagai fasilitator akan merasa terganggu manakala ia harus berhadapan dengan masyarakat desa – yang dalam tata nilai dan pergaulan sederhana apa adanya, serba praktis. Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa untuk penyadaran gender itu seyogyanya berasal dari dirinya sendiri. Jika fasilitator tidak menyadari dan tidak punya kemampuan yang cukup untuk itu, maka upaya penyadaran gender ibarat menggarami lautan. Namun walaubagaimanapun pelebelan/stereotype itu tetap dapat dirubah walau secara pelan-pelan. Berikan pada peserta contoh itu, misalnya laki-laki dibiasakan untuk belajar masak, cuci, nyapu dan lain-lain. Sebaliknya perempuan dibiasakan untuk menghilangkan kebiasaan bermanja dan minta belas kasihan atau dilindungi laki-laki.
“Dari semua penjelasan, nampaklah bahwa upaya penyadaran gender – tepatnya ketidak adilan gender – merupakan suatu tantangan serius dan jadi tantangan kita bersama. Upaya penyadaran gender menjadi salah satu bagian dari peningkatan peran kaum perempuan, yang jadi prioritas dalam upaya pemberdayaan masyarakat,” kata Ari Ariadi.
Dengan demikian tidak heran pula bila pihak funding atau penyandang dana mensyaratkan keterlibatan kaum perempuan yang tinggi dalam tiap proyek yang dibiayainya. Walaupun demikian, upaya peningkatan peran perempuan ini bukan sesuatu hal yang mudah seperti digambarkan terdahulu, berupa mobilisasi kuantitas perempuan dalam setiap kegiatan – hingga manipulasi tanda tangan absensi oleh fasilitator. Demikian pula dalam keadaan nyatanya, selain tantangan dari kaum laki-laki yang dianggap egois tidak ingin “lahan kekuasaannya” diambil perempuan, seringkali tantangan justru dating dari kaum perempuan sendiri. Sebagian kaum feminis memandang upaya peningkatan peran perempuan ini sebagai bagian dari upaya “menceburkan” kaum perempuan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, yang notabene merupakan bagian dari developmentalisme yang ditentang kaum feminis. Mereka tak menyadari bahwa upaya ini justru untuk menghindari dari marjinalisasi, yang dimulai dari penyingkiran mereka dari posisi-posisi yang memungkinkan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan. Kerangka berpikir logisnya, dengan menempatkan kaum perempuan pada posisi-posisi strategis adalah merupakan langkah awal pelibatan mereka dalam berbagai proses pengambilan keputusan, mulai dari pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga sendiri – lingkungan RT/RW/dusun – desa/kelurahan, bahkan organisasi heterogen yang dapat berpengaruh terhadap perubahan social secara lebih luas. Dengan demikian upaya peningkatan peran perempuan ini tidak dipandang sebagai dukungan terhadap developmentalisme, melainkan suatu upaya melawan marjinalisasi (Paulus Florus, 1992). Dalam kasus di atas ia mencontohkan mengenai perubahan sikap dan pandangan dalam pola pengaturan ekonomi rumah tangga, dari yangh awalnya hanya didominasi suami berubah jadi tanggung jawab semua anggota rumah tangga setelah ada penyadaran. (tamat)
Heri Irawan, Ngabang
SEBAGAI salah satu contoh dari pelebelan itu: Umumnya seorang laki-laki percaya bahwa dirinya lebih kuat dari perempuan. Oleh karena itu sesuatu yang janggal dan memerlukan pertimbangan yang matang jika ia dihadapkan pada kenyataan bahwa harus memilih pasangan hidup yang serba lebih daripadanya, seperti perempuan yang lebih pintar – lebih tua – lebih kuasa – lebih kaya dan lain-lain yang arahnya pada status social yang lebih tinggi daripadanya. Sebaliknya dengan kaum perempuan pada beberapa decade lalu (bahkan mungkin sampai sekarang), sering kita jumpai mereka menolak jika ditawari jadi pemimpin organisasi umum yang bukan organisasi perempuan. Baginya, istri adalah pendamping suami, hingga tidak heran jika timbul organisasi semacam Dharma Wanita dan lain-lain yang intinya untuk mendorong (atau mengontrol?) para suaminya.
Kenyataan dan kondisi seperti tersebut di atas merupakan suatu internalisasi stereotype dari tata nilai dan pola perilaku yang lalu menjadi citra diri. Selanjutnya citra diri itu akan sangat berpengarus terhadap pola sikap dan tata perilaku seseorang. Demikian pula dengan fasilitator yang dalam tugas kesehariannya harus turun ke desa, mungkin pada awalnya punya hambatan karena stereotype tadi. Bagi yang perempuan, ia akan lebih percaya diri jika dapat tampil cantik – rapi dan lain-lain, dan karenanya tak heran jika ia punya hasrat bersolek. Sebaliknya laki-laki, ia harus tampil gagah – baju dan sepatunya rapi. Jika hal itu diterapkan dengan kaku, tugasnya sebagai fasilitator akan merasa terganggu manakala ia harus berhadapan dengan masyarakat desa – yang dalam tata nilai dan pergaulan sederhana apa adanya, serba praktis. Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa untuk penyadaran gender itu seyogyanya berasal dari dirinya sendiri. Jika fasilitator tidak menyadari dan tidak punya kemampuan yang cukup untuk itu, maka upaya penyadaran gender ibarat menggarami lautan. Namun walaubagaimanapun pelebelan/stereotype itu tetap dapat dirubah walau secara pelan-pelan. Berikan pada peserta contoh itu, misalnya laki-laki dibiasakan untuk belajar masak, cuci, nyapu dan lain-lain. Sebaliknya perempuan dibiasakan untuk menghilangkan kebiasaan bermanja dan minta belas kasihan atau dilindungi laki-laki.
“Dari semua penjelasan, nampaklah bahwa upaya penyadaran gender – tepatnya ketidak adilan gender – merupakan suatu tantangan serius dan jadi tantangan kita bersama. Upaya penyadaran gender menjadi salah satu bagian dari peningkatan peran kaum perempuan, yang jadi prioritas dalam upaya pemberdayaan masyarakat,” kata Ari Ariadi.
Dengan demikian tidak heran pula bila pihak funding atau penyandang dana mensyaratkan keterlibatan kaum perempuan yang tinggi dalam tiap proyek yang dibiayainya. Walaupun demikian, upaya peningkatan peran perempuan ini bukan sesuatu hal yang mudah seperti digambarkan terdahulu, berupa mobilisasi kuantitas perempuan dalam setiap kegiatan – hingga manipulasi tanda tangan absensi oleh fasilitator. Demikian pula dalam keadaan nyatanya, selain tantangan dari kaum laki-laki yang dianggap egois tidak ingin “lahan kekuasaannya” diambil perempuan, seringkali tantangan justru dating dari kaum perempuan sendiri. Sebagian kaum feminis memandang upaya peningkatan peran perempuan ini sebagai bagian dari upaya “menceburkan” kaum perempuan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, yang notabene merupakan bagian dari developmentalisme yang ditentang kaum feminis. Mereka tak menyadari bahwa upaya ini justru untuk menghindari dari marjinalisasi, yang dimulai dari penyingkiran mereka dari posisi-posisi yang memungkinkan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan. Kerangka berpikir logisnya, dengan menempatkan kaum perempuan pada posisi-posisi strategis adalah merupakan langkah awal pelibatan mereka dalam berbagai proses pengambilan keputusan, mulai dari pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga sendiri – lingkungan RT/RW/dusun – desa/kelurahan, bahkan organisasi heterogen yang dapat berpengaruh terhadap perubahan social secara lebih luas. Dengan demikian upaya peningkatan peran perempuan ini tidak dipandang sebagai dukungan terhadap developmentalisme, melainkan suatu upaya melawan marjinalisasi (Paulus Florus, 1992). Dalam kasus di atas ia mencontohkan mengenai perubahan sikap dan pandangan dalam pola pengaturan ekonomi rumah tangga, dari yangh awalnya hanya didominasi suami berubah jadi tanggung jawab semua anggota rumah tangga setelah ada penyadaran. (tamat)
0 Response to "Saatnya Menenempatkan Posisi Stratrategis Bagi Kaum Perempuan"