NGABANG- Hingga saat ini tata cara penanganan konflik di Kalimantan Barat, yang mempunyai peranan penting atau kapasitas para pemimpin kampung non formal yang memadai akan sangat berperan besar dalam meramu upaya-upaya membangun perdamaian antar komunitas suku-suku di Kalimantan Barat. “Sebagaimana diketahui bahwa hubungan antar komunitas di banyak tempat di Kalimantan Barat dewasa ini banyak mengalami kemacetan. Kecurigaan antara satu pihak dengan pihak lainnya masih terasa. Jembatan komunikasi bisa dikatakan putus,” kata Sekjen Pakat Landak, Yohanes Supriyadi, kepada KP, belum lama ini.
Awal semua ini tidak terlepas dari setting politik dan pola pembangunan yang sentralistik pada masa orde baru. System pelayanan diskriminatif yang diterapkan telah menimbulkan dampak yang besar bagi hubungan social masyarakat. Kebijakan pemerintah memiliki andil yang besar merusak hubungan social dan bahkan mematikan kreatifitas dan prakarsa masyarakat local, untuk membangun relasi social sekalipun.
Ketua Palma Institute Kalbar ini menilai, dinamika social, ekonomi, budaya dan politik di Kalimantan Barat memiliki potensi bagi terjadinya ketegangan social maupun konflik etnis (baik kategori lunak maupun yang keras seperti kerusuhan etnik). Masyarakat tidak dididik untuk menghayati dan menghormati perbedaan (kemajemukan) yang ada. Persoalan yang sangat sepele, seperti tersenggol kendaraan saja bisa menjadi perkelahian massal yang berbau etnik. Dalam table berikut ini dipaparkan konflik etnik yang pernah terjadi di Kalimantan Barat.
“Pluralisme suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) yang ada dinegeri ini bukanlah hal baru, tetapi sudah ada sejak lama. Dalam beberapa decade kekuasaan negara, kekayaan ini tidak dijadikan sebagai sumber potensial untuk kepentingan bersama seluruh rakyat, tetapi justru menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan atau untuk kepentingan kelompok tertentu. Bahkan kata SARA itupun dianggap seolah-olah sebagai racun atau barang haram yang tidak boleh dibicarakan dan dikembangkan dimasyarakat,” katanya.
SARA dan kemajemukannya, disatu sisi menjadi kebanggaan pemerintah yang selalu dipromosikan sebagai kekayaan bangsa, dipihak lain lagi masyarakatnya sendiri menjadi sesuatu hal yang mengancam. Memasuki era baru, SARA harus dikembalikan kepada makna yang sebenarnya, yaitu kekayaan rakyat-bangsa. Dengan begitu diharapkan antar SARA menjadi suatu barang yang produktif dan permasalahn yang muncul disekitarnya menjadi tanggungjawab bersama. Dengan demikian kemajemukan bangsa bukan sekedar kenyataan yang harus dislogankan, tetapi sebuah realitas dengan interaksi riil dalam kehidupan kemasyarakatan yang harus dihadapi dan dikelola.
Konflik juga haruslah dipahami sebagai hal yang biasa saja, karena konflik sendiri merupakan salah satu konsekwensi logis dari kemajemukan SARA, baik yang positif-konstruktif, maupun negatif-konstuktif. Konflik bagi masyarakat Indonesia umumnya merupakan suatu hal yang tabu, karena selama ini dianggap sebagai sesuatu yang negatif, yang perlu dihindari. Keadaan ini sudah menjadi bentuk pendidikan dari negara, yang tidak mendidik masyarakat untuk terbuka terhadap konflik, yang dikarenakan oleh perbedaan-perbedaan. Masyarakat belum dididik untuk menerima pruralitas, kepelbagaian secara obyektif dan terbuka. Masyarakat disekat-sekat sedemikian rupa, dengan penekanan pada sisi pembandingan jumlah secara kuantitas dibandingkan dengan peningkatan mutu masing-masing dalam rangka hidup bersama.
Jangan heran bila umat beragama, pada semua tingkat social sekalipun dalam jumlah relatif tidak besar tetapi memberi pengaruh mudah terpancing, terpancing untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis atas nama demi agama. Dirukunkan pada bagian permukaannya saja, antar para elit pemerintah, termasuk tokoh/pemimpin agama, demi kepentingan tertentu dan sesaat, tidak menyentuh keakraban serta hubungan-hubungan interaktif yang konkrit dimasyarakat dengan segala permasalahannya. Kerukunan antar agama, atau antar umat beragama hanya berdasarkan hubungan sesaat yang sifatnya lebih politis, dibandingkan dengan demokratis-manusiawi dan berjangka panjang. Perdamaian adalah harapan setiap orang. Perdamaian tidak berarti membuat orang harus menghindari konflik atau dari perbedaan tetapi justru menghargai perbedaan. Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana masyarakat prural Indonesia menghargai perbedaan ? ini merupakan pertanyaan mendasar yang harus dijawab. Dialog rekonsiliasi merupakan kata kunci dari perdamaian. Minimal, sebagai cara untuk memulihkan keadaan pruralistic yang sudah tersegregasi secara mengental, yang bukan saja berakibat secara geografis, fisik, tetapi juga secara fsikologis, emosional dan sangat menganggu pada mental, kepercayaan, sikap dan lainya sebagainya. Disini pentingnya kemampuan masyarakat untuk keperbagaian, perbedaan dan mengelola konflik.
Ditambahkannya, dalam konteks inilah, pluralitas masyarakat merupakan realitas manusiawi-alamiah, dimana konflik menjadi sebuah logika yang tidak bisa ditolak dan perdamaian harus diusahakan. Dayak, melayu, china, madura, bugis, jawa, batak, sunda. Tiga diantaranya merupakan kelompok etnis terbesar, yaitu dayak, melayu dan cina. (wan)
You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Perlu Peningkatan Kapasitas Pemimpin Non Formal Tingkat Lokal"


Powered by www.tvone.co.id