Prasangka dan Relasi Social Terjadi di Masyarakat

09.55 Diposting oleh HERI IRAWAN
PERBEDAAN budaya antar pendatang baru Madura disatu pihak dengan suku Dayak dan Melayu dilain pihak oleh banyak kalangan selama ini telah dianggap mempunyai andil terjadinya konflik etnik. Misalnya saja kebiasaan membawa senjata tajam bgi orang-orang Madura, khususnya pada kelas bawah, didasari oleh kebiasaan social kemasyarakatan dari asal mereka, dimana bagi mereka yang tidak membawa senjata (pisau, todik, celurit dan pedang) dianggap jagoan dan sangat berani sehingga perlu dicoba.
Heri Irawan, Ngabang
SELAIN itu menurut kepercayaan orang Madura, pisau berarti pengganti sebuah tulang rusuk laki-laki sebelah kiri yang hilang. Kepercayaan ini tidak saja menjadi alat pembenaran tradisional tetapi juga sekaligus symbol bahwa pisau bagi laki-laki pendatang Madura didaerah ini adalah sebagai istri pertama. Sementara bagi orang Melayu dan Dayak, membawa senjata ditempat-tempat umum selain diladang atau kebun, bukan merupakan kebiasaanmeraka. Mereka merasa risih dan tidak terbiasa membawa senjata tajam. Tidak ada kepercayaan pada adat Melayu maupun Dayak bahwa tidak membawa senjata tajam karena menganggap dirinya jagoan. Perbedaan pandang dari budaya semacam ini tampak menjadi benih ketidaksesuaian dalam hubungan social antara mereka dengan penduduk setempat. Perbedaan tersebut juga diperuncing dengan pola hubungan etnik yang mendasari pembentukan streotife antar etnik.
Menurut Yohanes Supriadi, Sekjen Pakat Landak, masyarakat etnik Melayu (umumya) telah mengembangkan pranata poitik yang dibentuk kesultanan, yang berbeda dari pranata politik yang dikembangkan oleh etnik Dayak yang bercorak egaliter. Orang Melayu mengadopsi Islam sebagai Agama mereka yang menjadi inti dari kebudayaan Melayu, sedangkan orang Dayak menganut Agama nenek moyang mereka yang bercirikan Agama asli atau Agama Kristen. Orang Dayak yang mengganti agama nenek moyangnya dengan islam secara otomatis masuk Melayu (menjadi orang Melayu). Konsep menjadi Melayu berkaitan dengan kenyataan sebagaimana yang dilihat oleh banyak orang Dayak, bahwa Islam adalah inti dari kebudayaan Melayu. “Mejadi orang Islam dalam pemikiran orang Dayak adalah sama dengan mengadopsi keseluruhan budaya Melayu,” kata Ketua Palma Institute Kalbar.
Dalam perpekstif tersebut diatas, banyak wilayah kalimantan barat dapat dilihat sebagai dua wilayah kebudayaan yang didomonasi oleh kebudayaan Melayu yang Islam berpusat pada kesultanan; sedangkan didaerah pedalaman adalah wilayah yang didomonasi oleh kebudayaan Dayak yang egaliter. Baik Melayu maupun Dayak masing-masing mengelola wilayah kebudayaannya. Hal yang sama juga dilakukan oleh etnik-etnik lainnya yang dating kemudian menetap dikalimantan barat, yakni Cina, Bugis, Jawa, Batak, dll. Dalam system pemerintahan Indonesia, kekuasaan adat dan wilayah kekuasaan tersebut telah diganti oleh system administrasi pemerintah kabupaten yang pengaturan administrasinya dilakukan secara seragam di seluruh Indonesia. Sehingga, dalam penentuan jabatan-jabatan kunci pada tingkat kabupaten tidak di tentukan oleh ke-Melayuan atau hubungan kekerabatan dengan kesultanan tetapi ditentukan oleh berbagai kekuatan dan kepentingan politik tingkat nasional dan propinsi. Akibatnya, berbagai posisi kunci pada tingkat kabupaten tidak dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Dayak. Pada tingkatan formal dilakukan sebagai satuan adat, yang sama derajatnya dengan satuan adat yang dimiliki oleh etnik-etnik lainnya. (bersambung)
You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Prasangka dan Relasi Social Terjadi di Masyarakat"


Powered by www.tvone.co.id