NGABANG- Bencana Tsunami di Aceh dan Nias di penghujung tahun 2005 menyadarkan kita bahwa persoalan pengungsi perempuan demikian komplek. Para relawan perempuan saat ini banyak menemukan fakta dimana kebutuhan spesifik perempuan terabaikan, demikian juga munculnya beberapa kekerasan bebasis gender. Temuan-temuan itu diantaranya seperti, tidak adanya vitamin bagi ibu hamil dan menyusui, tidak adanya asupan gizi bagi ibu hamil dan menyusui, ketidakadaan bidan yang membantu ibu yang harus melahirkan, tenaga medis dan tenaga di lapangan lainnya yang tidak responsive gender, diitip saat mandi, diintip saat menyusui, pelecehan seksual hinggga perkosaan, indikasi trafiking dan lain-lain. Demikian dikatakan Adriana Venny, Ketua Badan Pembina Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2), kepada wartawan, dua hari lalu di Ngabang.
Menurut dia, mengingat berbagai persoalan yang ada, amatlah penting kiranya agar Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan bencana untuk memiliki standar operasional yang baku sehingga kebutuhan spesifik perempuan tersebut tidak terabaikan. “Para pengunsi perempuan di Aceh bahkan mengusulkan agar di setiap kamp pengungsian ditugaskan satu polisi perempuan agar kaum perempuan merasa aman dan terhindar dari kasus pelecehan seksual,” kata Adriana Venny, pada saat Workshop Media Dalam Upaya Menghapus Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia.
Lebih jauh dikatakan Anggota Kelompok Kerja Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik, namun kenyataanya, kasus dan kebutuhan-kebutuhan spesifik perempuan tersebit hingga saat ini belum terakomudir bahkan didalam UU Penaggulangan Bencana Alam yang sudah disahkan di tahun 2007. Karenannya, kelompok perempuan berharap besar dalam draf UU Penanggulangan Bencana Sosial semua ini dapat dituangkan. Apalagi jika melihat fakta dan data yang ada, kasus-kasius tersebut yaitu kasus kekerasan berbasis gender di wil;ayah konflik lebih beragam dimensinya. Dan salah satu pintu masuk untuk melindunggi hak-hak perempuan di wilayah konflik adalah dengan melaksankan Resulusi 1325 dari Dewan Keamanan PBB.
Ditambahkannya, sebenarnya pada level legislasi, di negara kita sudah ada beberap produk hokum yang melindunggi perempuan (baik usia dewasa maupun anak-anak) dari kekerasan berbasis gender. Misalnya Deklarasi HAM, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) dan lain sebagainya. “Sayangnya ditingkat sosialisasi dan law enforcement masih lemah,” ujarnya. (wan)
You can leave a response, or trackback from your own site.

1 Response to "Kasus Pelecehan Seksual Masih Terjadi di Kamp Pengungsian"

  1. Aan Said,

    terima kasih banyak senang bisa mampir di blog anda. info seputar obat perangsang wanita

    Posted on 17 Februari 2016 pukul 10.14

     

Powered by www.tvone.co.id