Strategi Pengembangan Hasil Hutan Non Kayu

17.20 Diposting oleh HERI IRAWAN
SELAMA lebih kurang tiga dekade terakhir, Indonesia menerapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif, khususnya hutan. Hal ini didorong oleh politik ekonomi yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dalam skala makro. Semangat eksploitasi ini terlihat dengan dikuasakannya 54,3 juta hektare dari 64 juta hektare yang hutan ada pada konsesi hak pengusahaan hutan, dimana lebih dari setengahnya beroperasi di Kalimantan. Akibatnya, kondisi hutan pun mengalami degradasi yang sangat memprihatinkan. Jika antara 1970-1980-an, laju kerusakan hutan yang terjadi sebesar 500.000 hektar per tahunnya, maka sejak 1980-an, laju kerusakan hutan yang terjadi setiap tahunnya mencapai dua kali lipatnya.
HERI IRAWAN, LANDAK
PADA era 1980-an, eksploitasi hutan untuk diambil kayu alamnya, mengalami masa keemasan. Ekspor kayu pun mengalami peningkatan yang sangat besar dan menjadi salah satu tulang punggung pendapatan negara. Larangan ekspor kayu bulat ditetapkan dan mendorong pertumbuhan industri berbasis kayu dengan sangat pesat di dalam negeri. Instalasi industri perkayuan yang sangat besar pada masa itu, tidak mempertimbangkan ketersediaan bahan baku dan keberlanjutan usaha.
Di sisi yang lain, ternyata masyarakat di sekitar hutan tidak terpengaruhi oleh gegap gempita yang dialami industri perkayuan. Teori tetesan ke bawah (trickle down effect) yang diagung-agungkan oleh pembuat kebijakan ekonomi, ternyata tidak berlangsung dan tidak pernah terjadi. Masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan menggantungkan kehidupannya pada produk-produk hasil hutan, tidak juga merasakan akibat dari eksploitasi sumber daya yang ada dihadapan mereka. Kesejahteraan mereka tidak mengalami perubahan. Bahkan, sumber penghidupannya malah terganggu diakibatkan kerusakan ekologis hutan, dampak dari eksploitasi yang serampangan. ”Sejak masa kejayaan ekploitasi hutan melalui sistem HPH, harga kayu hasil penebangan cukup menggiurkan masyarakat untuk mengusahakannya. Sebaliknya, nilai tukar produk hasil hutan non kayu secara bertahap mengalami penurunan. Akibatnya banyak masyarakat, yang secara tradisi mengusahakan hasil hutan non kayu, menghentikan kegiatan tersebut dan beralih pada ekspoitasi kayu hutan,” kata Sekjen PAKAT Landak, Yohanes Supriyadi.
Eksploitasi ini sekarang tidak hanya berlangsung pada kawasan produksi saja, tapi juga telah merambah pada kawasan konservasi yang ada. Akibat dari telah semakin terbatasnya tegakan hutan yang belum diekstraksi. Selain itu, prilaku eksploitatif ini juga berdampak langsung pada produk hasil hutan non kayu. Dimana banyak produk-produk tersebut yang membutuhkan dukungan tegakan hutan yang baik untuk berkembang optimal. Jika kondisi kerusakan hutan semakin parah, bukanlah sebuah keniscayaan beberapa produk hutan non kayu akan pula menjadi punah. Prilaku yang eksploitatif tersebut masih berlaku hingga saat ini. Pemberlakuan kebijakan desentralisasi pemerintahan pada pemerintah daerah, ternyata tidak membuat pengelolaan sumber daya alam menjadi lebih baik. Peluang untuk merumuskan kebijakan secara mandiri ini ditangkap sebagai peluang untuk kembali mengeksploitasi sumber daya hutan. Pengeluaran izin hak pengusahaan hutan skala kecil marak dilakukan hampir pada seluruh kabupaten yang masih memiliki sumber daya hutan. Episode penghancuran sumber daya hutan pun kembali bergulir, dimana masyarakat di sekitar hutan tetap hanya sebagai penonton dan korban dari eksploitasi yang dilakukan di depan mata mereka. ”Belakangan ini di Kalimantan, pada sebagian masyarakat di sekitar hutan telah mulai tumbuh kesadaran untuk mengusahakan alternatif pendapatan selain kayu. Umumnya, mereka mengembangkan komoditas yang merupakan hasil hutan non kayu. Banyak dari mereka yang mencoba menggali kembali kearifan lokal yang diwarisi nenek moyangnya dalam mengupayakan hasil hutan non kayu. Kesadaran ini tubuh dari kenyataan penurunan kondisi lingkungan di sekitar mereka dan menipisnya ketersediaan kayu yang dapat dieksploitasi,” kata Ketua Palma Institue Kalbar.
Inisiatif pemanfaatan yang tidak merusak ini bukan tidak memiliki kendala. Salah satu kendalanya adalah belum berpihaknya kebijakan dari pemerintah pada pengembangan hasil hutan non kayu. Banyak pemerintah daerah yang belum memandang produk hasil hutan non kayu sebagai produk yang dapat diandalkan dalam mendorong ekonomi daerahnya. Insentif dan perlindungan dari pemerintah daerah bagi keberlanjutan usaha pemanfaatan hasil hutan non kayu oleh masyarakat belum banyak dirasakan. Keadaan ini diakibatkan masih rendahnya pemahaman pemerintah daerah menyangkut potensi yang dimiliki oleh produk hasil hutan non kayu. Mencermati kondisi di atas, beberapa pihak yang berkegiatan mendorong pemanfaatan hasil hutan non kayu di Kalimantan dan tergabung dalam Jaringan Pemantau Kehutanan Kalimantan, bermaksud mencoba mendorong perubahan kebijakan di tingkat lokal (baik di tingkat kabupaten maupun propinsi) dan regional (Kalimantan) melalui sebuah program identifikasi dan desain strategi pengembangan hasil hutan non kayu di Kalimantan. “Aktivitas ini diharapkan dapat mendukung bisnis masyarakat berbasis hasil hutan non kayu, yang akan memberi efek peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar hutan dan juga akan berdampak pada perlindungan hutan,” jelasnya. ***
You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Strategi Pengembangan Hasil Hutan Non Kayu"


Powered by www.tvone.co.id