KEBUDAYAAN Melayu dan Dayak tetap hidup dan berlaku dimasing-masing wilayah kebudayaannya, baik pada tingkat kecamatan, desa dan dusun maupun tingkat kehidupan pribadi. Ungkapan dari kebudayaan Melayu dan Dayak terwujud dalam berbagai upacara keagamaan maupun upacara social dalam kehidupan sehari-hari.Sebelum kedatangan dan bermukimnya orang-orang
Heri Irawan, Ngabang
MADURA dalam jumlah besar di Kalimantan Barat, kehidupan ekonomi penduduk wilayah ini memperlihatkan adanya semacam keteraturan yang bersifat symbolic. Disatu pihak adalah orang-orang Melayu dan para pendatang yang menjadi pegawai negeri dan TNI yang hidup dari hasil konsumsi dari hasil-hasil pertanian serta berbagai pelayanan jasa dari orang-orang Cina dan Melayu. Dilain pihak orang-orang Cina yang menjadi pedagang besar dan eceran serta petani atau kuli yang bergantung hidupnya dari hubungan baik dengan pegawai sipil dan militer. Sehingga sering muncul anekdot “Dayak tukang cangkul, Melayu tukang pukul, Cina tukang kumpul”. Cina keturunan yang berdagang dalam skala kecil atau menengah seperti warung kopi, rumah makan, atau kelontong, cenderung mempekerjakan orang Dayak atau Melayu. Sedangkan dalam usaha skala besar, misalnya bisnis perhotelan, bank, restoran dan pabrik-pabrik lebih banyak merekrut komunitasnya sendiri. Sementara orang-orang Melayu yang memiliki perkebunan atau tanah yang luas cenderung mempekerjakan orang-orang Madura atau orang-orang Jawa. Sebaliknya orang Madura usaha besar atau HPH cenderung mempekerjakan orang Madura sendiri atau orang Melayu. Orang-orang Madura yang dulunya berjumlah kecil pada tahun 1960-an dan permulaan tahun 1970-an, hidup sebagai buruh-buruh bangunan atau jalan, menetap sebagai petani dan beternak sapi atau sebagai tukang becak. Pada mulanya mereka tidak dianggap sebagai pesaing yang membahayakan posisi dari anggota masyarakat etnik manapun diwilayah ini. Pendatang dari Madura hidup berkelompok sesama mereka. Selain itu, orang-orang Madura, terutama dari Bangkalan dan Sampang berbeda dari pendatang dengan etnik lainnya, melihat kalimantan barat pada umumnya sebagai milik Tohan atau Binerland dari Madura. “Oleh karena itu, mereka tidak perlu berbasa basi dengan orang-orang Melayu dan Dayak atau berbagai etnik lainnya di Kalimantan barat,” kata Yohanes Supriadi.
Mereka hidup dengan pedoman dengan budaya Madura. Mereka tetap menggunakan bahasa Madura dan berbagai adat istiadat serta keyakinan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan kebudayaan Madura, mereka hanya menghormatidan mendengarkan perintah kyai, orang tua, guru, alat negara dan terkait pemerintah. Diluar golongan tersebut, golongan lainnya dianggap dan diperlakukan sebagai sama atau lebih rendah derajatnya. Namun, etnik Madura menganggap orang Melayu sebagai sederajat karena sama-sama Islam, tetapi mereka menganggap rendah orang Melayu karena menurut mereka orang Melayu penakut, cepat mengalah, suka merajuk dan mudah ditipu. Sebaliknya orang Madura melihat orang Dayak sebagai orang yang sederajat rendah karena kafir, gampang ditipu karena suka minum-minuman keras dan berjudi, tetapi mereka takut orang Dayak karena bias berubah menjadi beringas dan siap bertempur dengan dan membunuh orang Madura.
Motivasi untuk hidup lebih baik, dibarengi dengan kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari dilingkungan mereka dimana mereka dapat dengan mudah memaksakan kehendak untuk memperoleh uang, barang, tanah dan pekerjaan karena lingkungan mereka diisi oleh orang-orang yang penakut, yang senang mangalah dan melarikan diri, sadar atau tidak sadar telah membuat orang-orang Madura menggunakan kesempatan untuk mencuri, merampas, menipu melalui perjudian dan merampas hak milik (baik tanah, sapi dsb) orang Melayu dengan mengunakan berbagai cara dan melakukan logika yang aneh. “Pola hubungan itu pada akhirnya akan membentuk prasangka social atau streotype (gambaran/pandangan suatu kelompok dengan kelompok lain) antar etnik
Untuk mencegah konflik etnis dan menyembuhkan trauma fsikologis pada masyarakat di Kalimantan Barat inilah, Saya menyarankan agar kita pantas mencoba melaksanakan program transformasi konflik,” katanya.
Langkah pertama program ini adalah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia seperti pemimpin non formal di setiap kampung, agar memiliki kapasitas yang cukup untuk menggorganisir masyarakatnya dalam menciptakan perdamaian dan rekonsiliasi social, disamping itu mampu melakukan advokasi untuk perjuangan keadilan bagi seluruh rakyat pada lembaga-lembaga pemerintah. ***
You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Saatnya Kita Mencoba Melaksanakan Program Transformasi Konflik"


Powered by www.tvone.co.id